6/14/07

Mana Uang Mereka


Tadi jam 13.00 WIB saya makan makanan yang cukup mewah bagi saya (hee….hee… jadi laper lagi klo ingat) ayam bakar porsi jumbo dengan lalap dan minum segarnya es teh, pokoknya mak nyiusszz. (slogan pak bondan dalam wisata kuliner di trans TV). Untuk makan segitu saya menogoh kocek lumayan dalem, yang lumayan untuk seukuran saya, saya mengeluarkan duit dari saku sekitar 20.000 rupiah. Sedikit mungkin bagi sebagian orang, ya... tapi bagi mahasiswa kampung seperti saya, bisa sobek kantong ini klo setiap makan segitu.

Jam dah menunjukan 14.20, lumayan panas di Jogja apalagi lampu merah nyala lama banget. udah jadi kebiasanan bagi sebagian orang Jogja sambil nunggu lampu ijo nyala, berteduh dibawah pohon yang biasa ada di samping jalan sebelum perempatan lampu merah, biar adem atau takut item haa...ha... (tapi saya nggak ikut berteduh lho, saya khan sudah item jadi gak takut item lagi). Ketika melihat kesana-kemari, seketika mata saya menangkap sebuah fokus sesosok pria tua renta yang buta. Pria yang berpakaian lusuh (yang mungkin bagi saya dan anda tak terpikir sama sekali memakai pakaian sepertinya), dia memegang wadah plastik ditangan dan tongkat. Ketika itu saya melihat pemandangan yang sangat kontras, disatu sisi saya melihat banyak pengendara motor yang memakai jaket kulit dan helm standart berteduh dibawah pohon rindang, di sisi lain pengemis tua yang hanya dengan kopyah yang luntur bereperang melawan terik panas matahari. Pikiranku melayang pada pria itu, ketika pria tersebut meminta-minta sedikit harta pada para pengguna jalan. Pria tua renta yang telah membuang rasa malu, tak gentar dengan rasa capek dan tak menghiraukan gerahnya panas matahari. Beberapa saat kemudian dia menghampiri saya, saya hanya menaruh beberapa keping uang logam ratusan di wadah plastik yang disodorkanya.

Jam 23.30, saya merebahkan badan dikasur sambil berfikir peristiwa tadi siang, angan saya menerawang pada sosok pria yang tangguh menghadapi kehidupan dengan sisa kemampuan yang dimilikinya, pria yang tetap berjuang untuk kelangsungan hidupnya dan mungkin keluarga yang diamanhkan padanya, walaupun cara yang dia pakai untuk tetap bertahan hidup mungkin menurut kebanyakan manusia adalah hina, tapi kemauan untuk tetap hidupnya lah yang perlu di acungin jempol semua manusia. Angan saya juga terbayang antara makanan yang saya makan tadi siang dan receh yang saya berikan pada pengemis tua itu, 20.000 rupiah dan beberapa keping logam ratusan perbedaan yang sangat jauh berbeda, setelah diitung-itung ternyata dalam sebulan duit yang saya sisihkan agak dibeikan bagi golongan masyarakat yang berhak memilikinya(kaum miskin, anak yatim, pengemis dan sebagainya) tak lebih dari 15.000 rupian, bagaimana dengan anda sekalian...? ironis sekali ternyata, kita perlu merenung kembali.......

No comments:

Sebuah Jiwa

Aku mungkin hanya seonggok sampah jiwa yang tak berharga. Tanpa karunia indah rupa, tanpa tumpukan gemilang harta dan tanpa wibawa cendekia. Hanya "Seonggok jiwa" yang mencoba merenungkan apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, dikecap dan dirasa menjadi sebuah makna. "Seonggok Jiwa" yang mencoba merangkak tertatih-tatih kearah Sempurna